Sore itu di taman kota, Dimas dan Rani sedang berjalan pulang dari lelahnya mengadu nasib di tengah keramaian kota. Rani yang usianya baru lima tahun tampak lesu layaknya kain basah yang menjuntai, digendong oleh seorang anak laki-laki. Seorang anak laki-laki yang usianya dua tahun lebih tua dari Rani. Entah siapa Dimas ini, yang jelas ia bukan kakak kandungnya.
Di tengah perjalanan, Rani melihat seorang pemuda yang sedang memakan cokelat. Pemuda yang yang duduk di bangku taman itu terlihat begitu menikmati cokelatnya.
“Kak, cokelat rasanya apa?” kata Rani.“Cokelat itu rasanya manis, tapi bisa bikin gigi kita jadi sakit”, jawab Dimas mencoba menakut-nakuti Rani.
“tapi Kak, Rani mau cokelat”, kata Rani.
“iya nanti kakak beliin coklat buat Rani”, kata Dimas dengan wajah kesal.
“Kak, Rani mau coklat yang itu”, kata rani sambil menunjuk cokelat yang sedang dimakan oleh pemuda itu.
“Rani, dengerin. Itu cokelat orang lain. Kita gak boleh minta-minta selagi kita masih bisa mencari uang untuk membelinya” kata Dimas mencoba menasehati Rani.
Rani merengek-rengek ingin cokelat yang sedang dimakan oleh pemuda itu. Yah, memang cokelat yang sedang dimakan oleh pemuda itu bukan cokelat yang biasa ada di warung-warung pinggir jalan. Pantas saja jika membuat ngiler orang-orang yang melihatnya.
Dimas berusaha mengalihkan perhatian Rani. Tak kuat mendengar rengekan Rani, akhirnya Dimas menurunkan Rani dari gendongannya. Ia dudukkan Rani di bangku taman dekat pemuda itu duduk. Dimas mencoba menenangkan tangisan Rani.
“Sudah ya, jangan nangis lagi. Rani tunggu di sini, kakak mau beliin cokelat itu buat Rani”, kata Dimas sambil memberikan gitar kecilnya yang dipegangnya kepada Rani.
Dengan sedikit resah Dimas meninggalkan Rani. Ia berjalan menuju supermarket dekat taman. Sambil berjalan, ia mengeluarkan bungkus permen yang isinya uang receh hasil mengamen hari ini. Sungguh teriris hatinya ketika melihat semua uang recehnya. Tak cukup rasanya uang yang ia miliki jika harus ditukarkan dengan sebatang cokelat itu.
Ia berdiri di samping pintu kaca supermarket itu. Cukup lama dia berdiri di sana. Hingga ia melihat seorang ibu yang sedang kerepotan membawa barang belanjaannya.
“Boleh saya bantu bawa, Bu?” kata Dimas.
“Oh iya nak tolong bawakan ini ke mobil ibu yang di sana”, jawab ibu tersebut sambil menunjuk mobilnya.
Dimas sangat bersemangat membantu ibu itu. Namun saat hendak mengangkat belanjaan ibu tersebut, ia melihat sebatang cokelat yang dibungkus oleh kemasan yang sama dengan cokelat yang dimakan oleh pemuda tadi. Ia pun teringat lagi pada Rani.
“… tapi Bu, saya harus…”, kata Dimas terputus-putus.
“Ayo nak cepat, tolong bawa ke sini”, kata ibu tersebut dari dekat mobil.
Dimas pun membawa belanjaan itu menuju mobil ibu tersebut. Setelah semua barang belanjaan dimasukan ke dalam mobil, ibu tersebut mengeluarkan uang receh untuk upah Dimas. Namun, Dimas tidak langsung menerimanya. Ia malah ikut-ikutan mengeluarkan uang receh dari dalam bungkus permennya.
“Bu, saya tidak mau uang ibu. Boleh tidak saya minta cokelat yang ada di kantong belanjaan yang tadi saya bawa?” kata Dimas dengan memelas.
Ibu tersebut tersenyum dan mengambil cokelat itu dari kantong belanjaannya.
“Ini cokelatnya, tapi ingat selagi kamu bisa berusaha untuk mendapatkannya jangan kamu minta-minta ya. Dan satu lagi, ini tolong terima uang dari ibu, karena sedikit apapun pekerjaan seseorang tetap harus dibayar. Kamu paham, Nak?” kata ibu tersebut.
“i..iya Bu. Terima kasih” jawab Dimas.
Betapa malunya Dimas mendengar perkataan ibu itu. Kata-kata yang ia ucapkan pada Rani barusan, ternyata ia mendengarnya kembali dari ibu tersebut. Ya, mungkin cara yang Dimas lakukan itu salah. Tapi apalah daya, uangnya tidak akan cukup untuk mendapatkan cokelat itu. Meski ia harus berbohong pada Rani.
Cokelat yang diinginkan Rani, kini telah ada di tangan Dimas. Ia bergegas menghampiri Rani.
Setibanya di taman, alangkah kagetnya Dimas, apa yang ia lihat bukanlah yang ia inginkan. Rani yang sedang duduk merengek-rengek di bangku taman, kini ia tersenyum ceria dengan wajah yang belepotan oleh cokelat. Terdengar dari jauh Rani berteriak.
“kak Dimas, cokelatnya enak, rasa stroberi loh. Aku…” teriakan Rani menjadi pelan dan terputus-putus karena yang ia lihat adalah wajah kemarahan Dimas yang mulai menghampirinya, “… mau lagi”, sambung Rani.
Sesekali pandangan Dimas pada pemuda yang duduk di taman. Ia melihat pemuda itu tidak memegang cokelat lagi. Yang ada hanya bungkusnya tergeletak di bawah bangku yang sedang Rani duduki.
“Heuh… Rani kamu dengerin kakak gak sih, sudah kakak bilang jangan meminta-minta. Apalagi meminta makanan yang sedang dimakan orang lain”, kata Dimas dengan marahnya.
Rani menangis mendengar kata-kata itu. Dimas pun ikut menangis sambil membersihkan wajah Rani.
“Rani, maafin kakak. Kakak memang tidak sanggup memberikan kamu cokelat itu. Tapi kakak pasti bisa untuk mencari uang lagi supaya dapat membelinya” kata Dimas dengan suara yang rendah.
Rani tak dapat bekata-kata. Air matanya membasahi baju Dimas yang sedang digunakan untuk membersihkan cokelat di wajahnya. Sebenarnya Rani ingin mengatakan sesuatu pada Dimas. Namun ia takut Dimas marah lagi.
“Sudah jangan nangis lagi. Ini kakak bawain cokelat yang Rani mau” kata Dimas masih dengan suara yang rendah.
Rani pun diam dan menerima cokelat yang dibawa oleh Dimas. Dimas membuka bungkus cokelatnya dan menyuapi Rani dengan hati-hati agar tidak belepotan. Rani tersenyum.
“Kak, cobain makan cokelatnya, enak loh”, kata Rani sambil mendekatkan potongan cokelatnya ke wajah Dimas.
Dimas pun ikut memakan cokelat itu.
“Iya enak. Udah ah, kakak gak terlalu suka cokelat. Ini buat Rani aja” kata Dimas.
Inilah salah satu kebohongan yang selalu dilontarkan oleh orang yang menyayangi kita. Dimas pun demikian. Dalam hatinya, Dimas juga ingin memakan cokelat itu. Sambil menunggu Rani menghabiskan cokelatnya, Dimas membuka kembali uang recehnya di dalam bungkus permen. Dihitungnya satu persatu dengan tambahkan uang yang diberikan ibu tadi.
“Kak, kok uangnya masih banyak. Kakak beli cokelat ini pake apa?” kata Rani.
Dimas kembali merasa malu. Berat bagi Dimas untuk mengakuinya kalau ternyata cokelat itu hasil minta dari ibu tadi.
“Udah jangan banyak tanya. Ayo habiskan. Jangan lupa sampahnya dibuang ke tong sampah”, jawab Dimas.
“iya, Kak”, kata Rani.
Cokelat pun habis dan Rani harus membuangnya ke tong sampah yang berada di dekat bangku tempat duduk pemuda itu. Rani terdiam di depan tong sampah itu dan tidak langsung membuang bungkus cokelat yang ada di tangannya. Rupanya ia tidak lagi melihat sisa cokelat yang sebelumnya ada dalam tong sampah itu.
“Maaf kak, coklat yang aku makan itu dari tong sampah ini”, ucapnya dalam hati.
Rani pun kembali ke bangku tempat ia duduk dan mengambil bungkus cokelat yang ada di bawah bangku itu dan kini Rani membawa dua bungkus cokelat untuk dibuang ke tong sampah tersebut.
“Rani, ayo pulang,” ajak Dimas
.